Baju
hitam paling indah kupakai hari ini, untuk melepas kepergianmu yang
bertahun-tahun selalu ada di dalam hidupku, entahlah… mungkin sekitar 10
tahun lamanya. Sekilas sesak kurasakan didalam dada, entah apa ini
namanya… sebab sekalipun aku tak pernah merasakan jatuh cinta kepadamu.
Mungkin aku hanya terbiasa denganmu, dan aku harus siap tak lagi
terbiasa dengan keberadaanmu mulai kini. Air mata terus berjatuhan, kau
tahu sendiri bukan? Aku memang wanita cengeng yang kau bilang “Penuh
drama”. Aku harap kau tak menganggapku sedang bersandiwara dan memainkan
sebuah watak kini, karena dada ini terus merasa sesak… saat semua orang
menghampiriku, mengelus punggungku, bersimpati kepadaku, sambil terus
menerus berkata “Sabar ya Atira, ikhlaskan dia… Allah akan menjaga
seorang laki-laki baikhati sepertinya, tempatnya akan mulia diatas
sana…”
Kau selalu sempurna dimata orang lain, dimata orangtuaku, dimata sahabat-sahabatku, tapi maaf… tidak dimataku.
Kita
hanya bertemu beberapa kali sebelum akhirnya memutuskan untuk bersama,
kau pikir sudah saatnya mengikatku dengan sebuah tali yang akan
membuatku selamanya berada didalam genggamanmu. Tubuhku ada disini,
ditengah ruang keluarga yang sudah penuh sesak dengan orang-orang yang
peduli padamu, didepan jenazahmu yang terbujur kaku aku hanya diam
mengisak dengan kepala dan pikiran yang melayang kemana-mana. Aku hanya
mencoba mengingat hal-hal indah yang pernah kita jalani saat kau masih
bernafas… mmmmh, kenapa begitu sulit ya? Sedikitpun ingatan indah
tentangmu, tentang kita berdua, tak juga bisa kugali. Kemana mereka
semua?
“Atira!!
Kemari!!”, setengah berbisik suara itu mengagetkanku dari lamunan
tentang suamiku yang baru saja meninggalkan dunia untuk selamanya akibat
serangan jantung yang menderanya pagi tadi. Rupanya ada Ardo, adik
iparku yang sejak tadi mencoba memanggilku untuk mendekatinya yang kini
sedang berdiri di dapur, tepat dibelakangku. Kudekati Ardo yang
sepertinya tidak sabar menungguku mendekatinya, “Ada apa Do?”.
“Ini,
kutemukan dilemari Arka saat tadi hendak mengambil foto-fotonya, maaf
kalau aku tak sengaja membaca isinya”, suara Ardo sedikit bergetar
sambil terus menerus menatapku dengan tatapan aneh. “Buku apa ini Do?
Aku tak pernah melihatnya…”, aku mulai penasaran dengan buku merah
menyerupai jurnal harian berbahan kulit yang kini sudah ada digenggaman
tangan kiriku. “Baca sajalah, aku tak perlu menjelaskan apa isinya. O
iya, kau urus sendiri saja acara tahlil nanti setelah magrib, aku banyak
kerjaan… maaf tidak bisa membantumu”, dengan ketus Ardo mulai
membalikan tubuhnya dan pergi meninggalkanku yang masih bingung atas
sikapnya. “Loh, gimana sih Do? Terus siapa lagi yang mau bantu aku kalau
bukan kamu? Keluargaku baru datang nanti malam! Tak ada lagi yang bisa
kuandalkan Do!”, aku mulai resah atas sikap Ardo yang mendadak jadi
menyebalkan. “Kau bayar saja orang lain untuk membantumu, atau mungkin
kau bisa minta tolong pada pacarmu untuk mengurus semuanya”, sekilas
saja Ardo membalikan wajahnya ke arahku, setengah berteriak dia berkata
seperti itu kepadaku, bisa kupastikan… beberapa tamu mulai saling
berbisik bereaksi atas ucapan Ardo, sementara aku… hanya diam mematung
entah harus mengucap apa.
Kutinggalkan
semua orang yang mulai tak lagi bergunjing atas kelakuan Ardo, memasuki
sebuah ruang kerja tempat Arka biasa mengerjakan semua pekerjaannya,
buku berwarna merah masih saja kugenggam,, tak sabar untuk menelusuri
isinya. Mungkin ada sebuah jawaban atas sikap Ardo kepadaku…
Bandung 1 Mei 2008
Sebenarnya
aku tak begitu suka menulis, namun buku bersampul kulit ini begitu
mencuri perhatianku. Jika kubeli, seharusnya kugunakan juga untuk suatu
hal yang mungkin bisa berguna untukku. Aku tidak tahu harus menulis apa
diatasnya, toh aku sebenarnya lebih suka menyimpan segala sesuatunya
dalam kepalaku, otakku cukup pintar untuk mencerna dan menyimpan segala
memori, tentang apapun.
Tapi
tak apalah, suatu saat kepalaku tak akan lagi mampu menampung
segalanya, mungkin kau akan berguna untukku. Salam kenal, mulai saat ini
kita berteman ya…
O
iya, kau ingin tahu kenapa aku tertarik untuk membelimu? Karena
warnamu, warna yang tidak lumrah, merah yang tak terlalu tua, namun tak
terlalu muda. Merah yang membuat mataku sejuk jika memandangnya, merah
yang sangat disukai istriku… Atira.
Bandung, 25 Februari 2009
Sudah
satu tahun tak menyentuhmu. Sepertinya aku mulai membutuhkanmu… terlalu
banyak hal yang tak bisa kuungkapkan kepada manusia-manusia sepertiku.
Aku membutuhkanmu, tak untuk mengharap pembicaraan 2 arah, tapi untuk
mengingat hal-hal yang terjadi didalam hidupku…
Ada apa dengan hidupku sekarang ini? semua kacau balau, tak sesuai dengan harapan-harapan yang selama ini kurangkai…
Bandung 28 Maret 2009
Sudah
8 tahun aku dan Atira terikat dalam hubungan pernikahan, tak satu
tahunpun mampu membuatnya bersikap baik kepadaku, aku tak berharap
banyak pada cintanya. Tapi aku mulai muak dengan sikapnya kepadaku. Jika
memang aku tak mampu menaklukan hatinya, setidaknya aku berharap dia
berpura-pura mencintaiku saja. Aku lelah dengan semua ini, ingin rasanya
pergi meninggalkan semua ini…
Mataku
melotot kaget membaca bagian dari tulisan Arka barusan, astaga… selama
ini aku mengira dia tak pernah lelah terhadapku yang memang selalu
memancing kemarahannya, aku ingin berpisah dengannya tapi aku ingin dia
yang meninggalkanku. Oh, bagus Arka… ternyata kau memang lelah juga ya?
Kenapa harus kau tulis di buku sialan ini sih? Kenapa tak kau ucapkan
saja langsung kepadaku? Mungkin kita akan merasa sama-sama bahagia kan?
Tak usah membuang waktu!
Tulisan ini membosankan, tapi aku belum menemukan jawaban dari sikap Ardo tadi.
Bandung, 23 September 2009
aku
jengah dengan ucapan Atira tentang Ibuku, seburuk apapun Ibuku… dia
begitu berjasa bagiku. Wajar jika Ibuku mengungkapkan kerinduannya pada
sosok seorang cucu yang berasal dari darah daging kami, kenapa kau harus
marah Atira? Kau bisa pura-pura bilang bahwa kita berdua telah berusaha
semaksimal mungkin, tak usah malah mendebat dan mencerca Ibuku dengan
kata-kata kasarmu. Demi Tuhan Atira untuk satu kali ini saja jika memang
tak bisa bersikap baik terhadapku tolong bersikap baiklah kepada Ibuku.
Bandung, 1 Desember 2009
Kulihat
Atira menangis hari ini, setelah lama berbicara dengan seseorang
ditelepon. Ingin rasanya memeluknya dan berusaha menghiburnya, tapi aku
tak kuasa untuk melakukannya, bagaimanapun aku adalah laki-laki yg
mencintainya, terlalu sakit bagiku membayangkan kau menangis karena
laki-laki lain yang telah menyakitimu. Aku tahu semua tentangmu Atira,
aku tahu siapa yang telah membuatmu menangis… biarlah kau begitu,
bahagia dengan caramu. Ternyata aku terlalu mencintaimu Tira, sedikitpun
tak bisa kuungkapkan amarah padamu…
Bisa
kurasakan bagaimana kini wajahku berdenyut-denyut, ada sebuah perasaan
aneh yang membuat wajahku tiba-tiba terasa panas. Tulisan di bulan
desember 2009 ini membuatku tersadar… Arka tidak bodoh, dia tak sepolos
yang kubayangkan. Wajahku mulai tertunduk, entah malu atau apa ini…
Bandung, 13 Februari 2010
Dokter
mendeteksi adanya penyakit Jantung dalam diriku, rupanya almarhum Bapa
menurunkannya kepadaku. Semoga tidak terjadi hal serius akibat penyakit
ini.
Bandung, 16 Maret 2010
Lagi-lagi
Atira lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami,
selamat ulangtahun pernikahan kita yang ke- 9 istriku Atira… semoga
suatu saat kita bisa menemukan kebahagiaan, jika kamu bahagia, aku akan
merasakan hal yang sama… dengan siapapun kau merasakan bahagia itu.
Semoga malam ini kamu bisa pulang ke rumah, aku menunggumu… belum
terlambat untukmu mengingat tanggal ini.
Bandung, 27 Agustus 2010
Alhamdulillah,
akhirnya dana yang kukumpulkan selama ini sudah bisa kupakai untuk
mewujudkan salah satu cita-cita terbesarku, membangun sebuah panti
asuhan. Walau belum terlalu besar, aku cukup bersyukur. Sebuah panti
asuhan dengan nama “At-Tira” kupersembahkan untuk istriku…
Pelipisku
kini terasa berdenyut, bukan wajah saja yang merasa panas… mataku kini
ikut juga merasa panas. Sedikit air mata hampir menetes darinya, banyak
hal yang Arka sembunyikan dariku. Baru kusadari ternyata dia adalah
laki-laki yang tulus mencintaiku Arka, selama ini selalu saja kuanggap
dia patung yang kosong tak punya perasaan apa-apa terhadapku. Aku tak
sanggup melihat hal-hal indah yang ternyata telah banyak Arka lakukan
tanpa harus kutahu… aku tak pernah tahu suamiku mempunyai sebuah panti
asuhan, aku tak pernah tahu dia hapal tanggal pernikahan kami, dan yang
lebih parah… aku tak tahu bahwa sebenarnya kau sudah tahu bahwa kau
sakit. Kenapa kau tak pernah bicara Arka?? Kenapaa? Kulewat
lembar-lembar selanjutnya, aku ingin tahu tulisan-tulisan terakhir yang
dia ungkapkan di buku ini. Kubuka lembar terakhir buku ini.. tertanda
tanggal 17 Desember 2011, tepat 1 bulan sebelum hari ini, hari
kematiannya.
Bandung, 24 Desember 2011
Dada
ini terasa sangat sakit, Tuhan kuatkanlah ragaku… aku masih mau hidup,
aku masih ingin membahagiakan keluargaku, terlebih membahagiakan
istriku… Atira. Seberapa burukpun dia, aku selalu menganggap semua ini
terjadi karenaku yang tak becus menjadi seorang suami yang baik
untuknya. Keinginan terbesarku kini adalah membuatnya jatuh cinta
kepadaku… tak ada kata terlambat bagiku, ini adalah pernikahan kami,
sekali untuk selamanya.
“Tidak
Arka, kau adalah suami yang baik!!! Bukan kamu yang tidak becus!!! Aku
wanita sundal tak tahu diri, aku tak pernah berkaca !! aku yang tidak
becus Arka!!!”, aku mulai berteriak sendiri didalam ruang kerja Arka,
airmata sudah tak bisa kubendung. Rasa sakit mulai terasa begitu menusuk
hati. Kubuka lagi lembar sebelumnya…
Bandung, 11 November 2011
Tuhan, berikan aku kekuatan… kenapa hati ini terasa perih sekali mengingat semua hal yang terjadi di hidupku belakangan ini?
Bandung, 8 November 2011
Atira,
tolong jangan menangis lagi… ingin rasanya kubunuh laki-laki itu!!
Tolong jangan sampai membuatku meledak marah, bukan marah terhadapmu…
tapi terhadapnya yang telah tega membuat seorang wanita cantik sepertimu
begitu terluka. Kemarahanku hanya akan membuatnya semakin membenciku,
aku bukan suami yang baik… karena tak mampu membuatnya bahagia.
Bandung, 3 november 2011
Kulihat
lagi-lagi Atira menangis… kau kehilangan dia ya? Aku jadi ingin tahu
bagaimana sikapmu jika aku menghilang dari hidupmu… astagfirullah tak
seharusnya aku berpikiran seperti itu…
Bandung, 1 november 2011
Kondisi
Atira membaik, dia menjadi wanita yang begitu pendiam dan tak
bersemangat, saat kutanyakan keadaannya… dia hanya bilang bahwa dia
terlalu lelah beraktivitas. Ayolah Atira, jangan lagi-lagi kau
membohongiku… berbicaralah kepadaku… aku ingin mendengar semuanya.
Bandung, 30 Oktober 2011
Kulihat
Atira tergeletak diatas kasur kami, disebelahnya kulihat banyak
obat-obatan penenang, mulutnya berbusa, sekujur tubuhnya terasa begitu
dingin. OH TUHAN APA YANG TERJADI PADANYA? Kubawa dia ke rumahsakit
malam tadi, hatiku tak karuan begitu mencemaskannya. Dadaku terasa
sakit, tapi aku masih cukup kuat mengatasinya. Syukurlah Atira baik-baik
saja… aku melihatnya dari kejauhan, dia tak tahu bahwa aku sudah pulang
dari Taiwan. Seharusnya aku pulang lusa, namun entah kenapa hatiku
begitu tak tenang untuk segera pulang. Kupercepat kepulanganku, dan
benar saja… Atira membutuhkanku…
Bandung, 20 Oktober 2011
Malam
ini kulihat Atira menangis tanpa henti… biasanya dia selalu tersenyum
bahagia walau bukan bahagia karena aku, Atira… aku suka melihatmu
seperti itu, aku ingin bertanya kepada laki-laki itu sebelumnya,
bagaimana cara membuatmu bahagia? Tapi kini kau selalu menangis Atira…
dia menyakitimu? Benar begitu?
Bandung, 15 Oktober 2011
Tuhan
tolong maafkan semua kesalahan istriku, kesalahanku juga… karena tak
mampu menjaganya, tak mampu membuatnya bahagia. Kuatkan pernikahan kami
berdua…
Bandung, 30 September 2011
Setiap
dia pergi keluar rumah dengan begitu anggunnya, aku hanya bisa
mengepalkan tanganku… kutahan semua emosi yang kupendam entah sampai
kapan. Asal kau bahagia Atira… asal kau tak pergi meninggalkanku..
Bandung, 29 September 2011
Atira… aku ingin sekali marah padamu… tapi kenapa sulit sekali??
Bandung, 28 September 2011
Kuikuti
Atira pergi hari ini, mobilnya terparkir didepan sebuah rumah… aku
melihat seorang laki-laki keluar dari rumah itu. Yang kulihat
selanjutnya adalah… pemandangan paling menjijikan seumur hidupku,
kulihat Atira turun, memeluk dan menciumi laki-laki itu… kulihat untuk
pertama kalinya tira tertawa tulus. Tuhan, hatiku sakit sekali…
Tak
tahan untuk terus membaca isinya, aku menangis meraung
sekeras-kerasnya. 10 tahun bersamanya, sudah ada 3 orang laki-laki lain
yang mengisi hidupku dan hatikuyang kuanggap selalu berhasil
disembunyikah darinya, dan… dan ternyata… ternyata dia yang tahu semua
kebusukanku… dan dan… dan dia selalu diam. Cinta yang selama ini kucari,
kebahagiaan yang selama ini kudamba ternyata tak pernah jauh dariku.
Arka, kenapa baru sekarang Arka? Kenapa tak kau tunjukkan saja sedikiit
saja perhatianmu sejak dulu? Aku hanya tak tahu bahwa betapa engkau
mencintaiku… aku tak tahu siapa dirimu, aku tak tahu betapa baiknya kamu
terhadapku.
Suara
ketukan kudengar begitu keras dari arah luar, disusul oleh suara yang
bertanya, “Atira, kau baik-baik saja? Keluarlah Atira berkumpul bersama
kami! Jangan memendam kesedihan seorang diri!”, suara itu milik kakakku…
yang terdengar begitu khawatir di luar sana. Aku terus menerus menjerit
dan kini berteriak menyebut nama Arka, “Kenapa Arka kenapa baru
sekarang??? Kenapaaaaaa Arkaaa????” aku terus berteriak. Sementara itu
suara orang-orang yang mengkhawatirkan keadaanku dari luar pintu ruang
kerja yang sejak tadi kukunci kini terdengar semakin ramai. Kututup
kedua telingaku sambil terus menjerit meneriakan nama Arka…
Suara
orang-orang itu semakin menggangguku, teriakan khawatir mereka
membuatku semakin kesal dan ingin terus menerus menjerit. Aku tak butuh
perhatian mereka! Aku hanya butuh sendirian!!! Mencaci maki diriku yang
begitu hina…. Kuangkat tubuhku sambil terus mengisak, kuambil remote CD
player milik Arka, disana ada CD yang biasa diputarnya, sepertinya ini
CD yang sedang disukainya karena hanya dia yang memakai CD player ini,
CD yang masih berada didalamnya adalah CD yang sering diputarnya, itu
yang aku tahu. Kunyalakan keras-keras, aku hanya ingin menenggelamkan
diriku dalam kenangan tentang Arka. Sebuah intro lagu terputar dengan
volume sangat keras, meredam semua teriakan orang-orang diluar ruangan
ini yang masih saja berteriak…
Kudengarkan lirik demi lirik yang mengalun dari lagu itu…
Lelahmu jadi lelahku juga
Bahagia bahagiaku pasti
Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati..
kata
demi kata merasuk kedalam diriku yang masih saja menangis tak kuasa
untuk menahan air mata, sedua mataku mengeluarkan mereka layaknya air
terjun. Hatiku masih saja sakit mengingat tentang Arka, semua kenangan
indah tentang dia tiba-tiba datang menyerangku… walau tak pernah
benar-benar nyata kurasakan, mungkin selama ini mereka tertutup
kebutaanku terhadap Arka.
Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik sendiri…
Mulutku
menganga mendengar penggalan lirik yang baru saja mengalun, lagu ini
berjudul “malaikat juga tahu” milik seorang penyanyi bernama Dewi
Lestari. Entahlah, saat mendengar penggalan itu… aku merasa Arka sedang
menyanyikannya untukku.. air mata tak terelakan, semuanya semakin saja
deras. Aku tak sanggup menahannya, menahan segala perasaan yang
bergumpal menjadi satu perasaan teramat bersalah terhadap suamiku yang
kini telah pergi…
Lagu
itu terus mengalun, dan berhasil membuatku semakin rapuh. Bagaikan Arka
sedang terus menerus berbicara kepadaku, mengungkapkan apa yang dia
rasakan selama ini. Tuhan aku tak sanggup lagi mendengarnya, tolong
berikan aku sebuah kesempatan lagi, untuk membuka mata untuk Arka…
membuka hatiku untuk cintanya… tolong Tuhan bantu aku… aku ingin Arka
kembali lagi…
Jeritanku
semakin menjadi, aku malu pada Tuhan… aku malu pada Ardo… Aku malu pada
kedua orangtua malu pada mertuaku, dan aku sangat malu pada Arka…
“Arkaaaaaaaa!!!!!!!! Tolong kembalilah Arkaaaa aku mohoooooooonnn!!!!!”.
Suara
ketukan pintu diluar ruangan ini kini semakin berlomba dengan volume
lagu yang masih terus berputar, tangisan dan teriakanku tenggelam
diantaranya…